SANG MURABBI, FAKTA TENTANG SEBUAH GERAKAN
Oleh : Muhammad Yulius
Masih ingat dengan gerakan Dadaisme? Dadaisme merupakan aliran pemberontak di antara seniman dan penulis. Kaum Dadaisme ini memiliki semangat menolak frame berpikir bahwa “seni adalah sesuatu yang tinggi, yang mahal, yang serius, complicated, dan eksklusif”. Mereka membenci frame berpikir “seni tinggi” karena seni semacam itu adalah milik kaum menengah ke atas yang memiliki estetika semu. Itulah Dadaisme, apapun sah untuk disebut seni!
Dada (yang berarti kuda mainan dari kayu) adalah sebuah gerakan seni yang merupakan reformasi dari dunia seni seperti perang yang menyapu pikiran/ingatan masyarakat. Dadaisme membawa hal-hal baru: ide-ide baru, bahan-bahan baru, tujuan-tujuan baru, dan orang-orang baru. Dada tidak memiliki karakteristik/kesatuan bentuk seperti yang dimiliki oleh gerakan-gerakan lainnya. Dadaisme seringkali diartikan seperti mengeluarkan ide-ide celaan dan kemarahan besar lalu memasukkannya ke dalam seni, jadi ini sangat nyata. Ia tetap apresiasi besar hasil karya manusia.
Dadaisme dikembangkan di Zurich pada tahun 1915 oleh sekumpulan pelukis, seperti Hans Arp dan penyair Rumania, Tristan Tzara, adalah aliran yang dikatakan banyak mempengaruhi seni modern. Tokoh-tokoh Dadaisme antara lain Marcel Duchamp, Raoul Hausmann, Tristan Tzara (1896-1963), Hugo Ball, Salvador Dali (Spain), Max Ernst, Marcel Janco, Man Ray, Hans Richter, Kurt Schwitters, Sophie Tauber, dan Hans Arp.
Jika Hans Arp dan Tristan Tzara berani melakukan pemberontakan terhadap arus utama estetika seni tinggi, dengan tujuan menawarkan seni “rendah”, bisakah gerakan pemberontakan itu dibuat sebaliknya? Jawabnya: sangat bisa!
Secara kasus per kasus, para seniman dunia telah melakukan gerakan itu dengan caranya sendiri-sendiri. John Lennon, misalnya, berani “berkelahi” melawan Amerika dan harus mati di tangan agen CIA (Mark David Chappman) ketika menyerukan pemboikotan terhadap perang AS melawan Vietnam. Lagu-lagu Lennon seperti Imagine, Give Peace a Chance, dan Instant Karma, berbicara tentang perlawanan itu. Film U.S. Versus Lennon juga dapat menjelaskan situasi perlawanan ala Lennon. Novelis David Morrel menciptakan tokoh John Rambo yang mencoba melawan dan membongkar kedok mafia perang AS yang berbisnis di Vietnam.
Perlawanan terhadap kemapanan industri yang dimonopoli oleh kekuatan kapitalis, juga muncul dalam bentuk yang lain, yaitu komunitas underground. Komunitas ini melakukan perlawanan dengan mengkapitalisasi diri sendiri dalam kelompok-kelompok musik yang melempar album berjalur indie label, kelompok filmmaker yang memproduksi film pendek independen, atau kelompok-kelompok IT yang bergerak dengan carding dan deface web. Nah, bagaimana dengan para seniman Muslim, khususnya di Indonesia?
Kita memang dikejutkan oleh munculnya film Ayat-Ayat Cinta yang menorehkan prestasi luar biasa (ditonton oleh sekitar 3 juta orang) dalam sejarah perfilman nasional. Tapi, dalam konteks tulisan ini secara keseluruhan, kita mencoba menggugat: siapa yang memproduksi film itu? Sutradaranya memang Hanung Bramantyo, seorang Muslim dan kader Muhammadiyah, tetapi dalam konteks industri film, Hanung sama posisinya seperti Fedy Nuril, Riyanti Catright, dll: sama-sama pekerja!
Nah, jika film Sang Murabbi diteropong dalam konteks ini, maka kita akan menemukan fakta bahwa film ini merupakan embrio penting dari geliat sebuah gerakan perlawanan terhadap arus deras kapitalisme industri film. Fakta-fakta itu bisa kita runut dari konsep cerita, policymaker, filmmaker, sampai para pemain.
Sang Murabbi sesungguhnya hanya meneruskan sejarah, karena perlawanan terhadap monopoli industri film telah dimulai justru di Amerika, kiblat film dunia. Gerakan film underground diawali oleh sebuah essai Manny Farber, seorang kritikus film Amerika, yang dilansir pada tahun 1957 berjudul Underground Films. Farber menggunakan istilah underground untuk menggambarkan semangat para sutradara yang bekerja dengan ideologi anti-Hollywood.
Para sineas anti-Hollywood sesungguhnya juga bergerak atas nama perlawanan ideologi yang didengung-dengungkan oleh para filsuf abad ke-20 seperti Albert Camus yang mengatakan bahwa karya seni sesungguhnya adalah pemberontakan. Dalam konteks ideologi, pemberontakan itu bergerak dengan misi pembebasan, yaitu memerdekakan seni dari semangat borjuasi yang menjunjung tinggi hedonisme dan mengucilkan diri dari kenyataan sosial masyarakat. Dengan demikian, menurut filsuf George Lucas, ideologi perlawanan itu sangat menjunjung tinggi teori seni berbasis kontemplasi dialektika antara seniman dan lingkungannya sebagai dua kekuatan yang saling mengokohkan.
Dalam konteks inilah Sang Murabbi menegaskan dirinya sebagai sebuah gerakan yang mencoba memecahkan iklim dunia film yang telah terbekukan oleh situasi borjuasi―seperti kita ketahui, borjuasi dunia hiburan, khususnya film, ditandai oleh fungsinya sebagai hiburan, yang atas nama demikian menghalalkan pelanggaran etika dan estetika dengan tujuan tercapainya fungsi menghibur. Sang Murabbi adalah ordinasi dari gerakan revolusi berpikir dan cara mengapresiasi, dengan cara memposisikan film dan penikmatnya tidak berhenti sebagai sekadar sebagai produk tontonan dan penonton. Sang Murabbi adalah embrio revolusi produk tontontan dan cara menonton, sehingga berakhirlah era kekuasaan uang, yang dengan atas namanya produsen leluasa memproduksi tontonan dan membentuk cara menonton yang destruktif.
Sinyal akan munculnya publik penonton dengan karakteristik di atas sesungguhnya telah terlihat dalam kasus film AAC. Film ini sukses bukan saja karena menyedot jumlah penonton terbesar, tetapi juga karena menampilkan warna baru dalam industri perfilman di Indonesia. Publik penonton film AAC sangat terlibat secara ideologis dengan tokoh-tokoh dalam film ini karena film ini memaparkan secara lugas idiom-idiom Islam di dalamnya, terlepas dari kontroversi kualitas penceritaan yang jauh dari cerita versi novelnya. Sang Murabbi bahkan menukik lebih tajam dengan publik penonton yang sangat ideologistis, yaitu mereka yang terlibat dalam arus utama gerakan tarbiyah di Indonesia dan para pendukungnya. Apalagi, antusiasme mereka semakin tinggi ketika tahu bahwa Sang Murabbi adalah film alternatif yang diproduksi oleh para pelaku dalam arus utama gerakan tarbiyah itu.
Masalahnya, sebagai sebuah gerakan, Sang Murabbi menghadapi tembok raksasa yang telah bertahun-tahun dibangun oleh kaum kapitalis di belantara industri film. Setidaknya, tembok raksasa itu bisa dijelaskan secara global sebagai berikut:
- Kinetransfer. Memindahkan format Betacam Digital ke Seluloid atau membuat Copy Master yang biasa disebut Copy A, biayanya sebesar $ 30.000 atau Rp. 300.000.000,- dengan kurs Dollar sebesar 10 ribu rupiah. Pekerjaannya pun tidak dapat dilakukan di Indonesia (karena memang belum ada fasilitas untuk itu), melainkan di Bangkok, India atau Australia.
Audio Post Dolby Stereo. Untuk dapat dinikmati dengan baik di bioskop biasanya audio dalam film menggunakan sistim Dolby Stereo. Biaya untuk Audio Post ini sekitar 100 juta rupiah.
Lisensi untuk dapat menggunakan system Dolby stereo sekitar 2.500 pondsterling, berarti kurang lebih 50 juta rupiah, kalau kita anggap kurs dari poundsterling ke rupiah 20 ribu rupiah.
Setelah Master Copy A jadi, maka dibuatlah Copy B sebanyak jumlah layar bioskop yang hendak kita putar. Satu Copy B menelan biaya antara 10 jt s/d 60 jt tergantung kualitas positif filmnya. Kita anggap saja, kita memerlukan 20 Copy B dengan kualitas sedang. Berarti 20 X 20 juta, sama dengan 400 juta rupiah.
Total biaya yang diperlukan untuk dapat diputar di 10 bioskop adalah 850 juta rupiah.
Pertanyaannya kemudian adalah: sanggupkah film Sang Murabbi meruntuhkan tembok raksasa ini? Jawabnya: sanggup! Logika yang digunakan oleh Hans Arp dan Tristan Tzara ketika memproklamasikan gerakan Dadaisme dapat dijadikan contoh. Gerakan yang dipandang sebelah mata itu telah melahirkan arus-utama neo-Dadisme yang berciri nihilistik dan destruktif, yang karena tak ada lagi norma yang bisa diprotes mereka lalu mengembangkan dadaisme menjadi gerakan seni masokisme dan sadisme (Barbara Rose, Seni dan Pemberotnakan, Bentang Budaya 1998). Nah, siapakah para penopang utama gerakan Dadaisme? Mereka adalah seniman dan para penikmatnya, yang membiayai gerakan mereka sehingga dadaisme menjadi gerakan pemberontakan kesenian yang paling fenomenal sepanjang sejarah.
Pertanyaan ini pun dapat dialamatkan kepada film Sang Murabbi; siapakah para penopang utama film Sang Murabbi? Mereka adalah dai-seniman dan “umatnya”. Mereka inilah sesungguhnya para pelaku gerakan yang mampu menumbangkan tembok raksasa di atas sekaligus meruntuhkan dominasi kaum kapitalis dalam industri film kita. Selama umat Islam tak mampu mengkapitalisasi produknya sendiri, selama itu mereka hanya akan berjalan di sebuah titik di mana sebagian besar dari kita terpaksa mengambil bagian di dalam arus yang diciptakan kaum kaptilais dan mereproduksi perbudakan dan pelecehan atas diri kita sendiri. Wallahua’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar